Hoegeng, Pendekar Keadilan di Zaman Ketidakjujuran

Oleh: Bonaventura, S.Pd.

Pada masa ini, wabah korupsi, kolusi, dan nepotisme menggejala di masyarakat dari berbagai lapisan, dari atas sampai ke bawah, dan dari pusat sampai ke daerah. Budaya korupsi itu dapat ditangkal dengan menerapkan nilai-nilai kejujuran, kerja keras dan keteladanan seperti yang tercermin dalam tingkah laku Jenderal Hoegeng Iman Santoso.

Hoegeng Iman Santoso, mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tahun 1968-1971, adalah salah satu tokoh militer yang terkenal di Indonesia. Tokoh Indonesia yang satu ini terkenal sebagai polisi paling jujur dan sederhana di tengah ketidakpercayaan masyarakat kepada institusi kepolisian. Mantan Presiden Gusdur pernah mengatakan bahwa hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, ketiganya itu adalah patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Ini merupakan sebuah anekdot bahwa sulit mencari polisi jujur di Indonesia.

Hoegeng merupakan putra sulung dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo dan Oemi Kalsoem, lahir pada 14 Oktober 1921 di Kota Pekalongan. Meskipun berasal dari keluarga priyayi, namun perilaku Hoegeng kecil sama sekali tidak menunjukkan kesombongan, bahkan ia banyak bergaul dengan anak-anak dari lingkungan biasa. Hoegeng sama sekali tidak pernah mempermasalahkan ningrat atau tidaknya seseorang dalam bergaul.

Selama menjabat sebagai Kapolri, Hoegeng merupakan sosok yang tegas, bijaksana, dan tidak pernah merasa malu turun tangan mengambil alih tugas teknis seorang agen polisi yang kebetulan sedang tidak ada di tempat. Dalam persepsinya tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab polisi, maka keinginannya yang pertama adalah memulai menegakkan citra ideal seorang polisi dari diri sendiri.

Di tengah hubungan polisi dan masyarakat yang fluktuatif, ada baiknya kita mengenang keteladanan Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang memaknai jati dirinya sebagai polisi dan perannya di tengah masyarakat. Keteladanan seperti ini wajib dikembangkan oleh kepolisian terutama dalam menghadapi berbagai tudingan terhadap kekurangan dan kelemahan polisi sekarang ini. Hoegeng adalah legenda seorang polisi jujur di Indonesia yang tidak takut menentang siapapun yang dianggapnya salah dalam pelanggaran hukum. Dalam rentang hidupnya sebagai polisi, kehidupan Hoegeng penuh dengan pengabdian dan kecintaannya pada pekerjaan.

Banyak hal terjadi selama kepemimpinan Kapolri Hoegeng Iman Santoso. Pertama, Hoegeng melakukan pembenahan dibeberapa bidang yang menyangkut Struktur Organisasi di tingkat Mabes Polri. Hasilnya, struktur yang baru lebih terkesan dinamis. Kedua, Hoegeng menanamkan images dinamis dan komunikatif terhadap institusi yang melayani masyarakat agar menimbulkan pencitraan yang positif, yaitu memperbaiki citra polisi dengan menjalin hubungan baik dengan pers agar Polri bersikap terbuka tentang kegiatan Polri, gagasan dan aspirasi kepada masyarakat dengan memperkenalkan istilah buku harian terbuka Polri untuk menggambarkan pemberitaan yang transparan. Ketiga, Hoegeng mewajibkan penggunaan helm bagi para pengendara motor dan penumpang sepeda motor di belakang harus duduk mengangkang tidak boleh menyamping. Hoegeng menilai meski terlihat sepele, penggunaan helm bagi pengendara sepeda motor merupakan hal yang amat penting bagi keselamatan. Hoegeng memang terkenal dengan kebijakan kontroversi. Ia juga pernah menangani kasus-kasus besar, seperti kasus Sum kuning, korban penculikan dan pemerkosaan yang dilakukan oleh anak-anak pejabat daerah Yogyakarta dan juga kasus penyeludupan mobil-mobil mewah yang dilakukan oleh Robby Thjahyadi, seorang pengusaha yang bergerak dalam interaksi import mobil-mobil mewah melalui pemalsuan pasport diplomatik.

Hoegeng memang sudah tidak menjabat Kapolri lagi sebelum kasus tersebut selesai, namun memang benar bahwa ia dan anak buahnya yang pertama beroprasi menjerat Robby Thjahyadi, sebelum akhirnya kasus tersebut menjadi isu nasional dengan menemukan fakta bahwa kasus tersebut melibatkan puluhan pejabat negara seperti petinggi polisi, tentara, pegawai bea cukai dan imigrasi yang merugikan negara ratusan juta rupiah. Selain itu, di belakang Robby, konon terdapat jajaran petinggi ABRI dan bahkan Presiden Soeharto sendiri. Dalam keadaan politik ketika itu, tindakkan Hoegeng dapat dipersepsi sebagai tindakan nekat dan bahkan bodoh, karena ia sangat berani melawan para tokoh-tokoh besar yang berada di belakang Robby, maka kasus inilah yang menyebabkan dirinya diberhentikan dalam jabatannya sebagai Kapolri secara mendadak pada tanggal 2 Oktober 1971.

Selain itu, Hoegeng juga merupakan anggota dari petisi 50, yaitu sebuah ungkapan keprihatinan terhadap pemerintahan Soeharto dan menganggap aturan pokok yang berlaku pada masa itu kurang sesuai dengan semangat UUD 1945. Petisi tersebut ditandatangani oleh 50 orang tokoh militer, polisi, anggota parlemen, dosen, birokrasi, bekas pejabat, pengusaha, dan aktivis. Presiden Soeharto sangat marah kepada kelompok petisi 50, ia menganggap pernyataan itu menyinggung pemerintahan di bawah naungannya karena secara tidak langsung menyiratkan usul pergantian pimpinan nasional. Soeharto mengatakan bahwa anggota-anggota petisi 50 harus diskrining. Sejak menandatangani petisi 50 tahun 1980, Hoegeng dengan sendirinya telah menguakkan pintu pengucilan bagi dirinya. Tidak sekali ataupun dua kali saja ruang geraknya dibatasi oleh bayang-bayang kekuasaan Soeharto, namun semua peristiwa yang terjadi, Hoegeng terima dengan kebesaran hatinya. Pada tanggal 14 Juli 2004 Hoegeng meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang istri bernama Merry Roeslani dan 3 orang anaknya.

Indonesia bangga memiliki putra bangsa seperti Hoegeng, yang dari awal hingga akhir jabatannya merupakan sosok yang tidak pernah berubah dalam bersikap. Jenderal Hoegeng Iman Santoso merupakan sosok yang dianggap pendekar keadilan hadir di zaman yang penuh dengan ketidakjujuran dan angkuhnya kekuasaan. Hoegeng bergerak dengan keberanian membela keadilan dan tidak takut dengan resiko kehilangan harta apa lagi sekedar jabatan. "Baik Menjadi Orang Penting, Tetapi Penting Menjadi Orang Baik", ini adalah kalimat pemungkas Hoegeng. Pria yang pernah dinobatkan sebagai The Man Of The Year 1970 ini adalah sosok polisi yang terkenal jujur, hidup bersahaja, dan sangat anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

(*Bonaventura)